Selasa, 30 Desember 2014

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) fungsi,kedudukan dan kewenangan dalam pelaksanaan syari'at islam di Aceh



Makalah Kelompok  9
 
MPU
MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA
FUNGSI,KEDUDUKAN DAN KEWENANGANNYA DALAM PELAKSANAAN
SYARI’AT ISLAM DI ACEH
Oleh
ASYARI
MURSYIDIN
T.WILI PRAKASA
SYAHRUL KURNIAWAN


ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UIN AR-RANIRY
ILMU POLITIK
BANDA ACEH
2014






BAB  I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
    Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dibentuk di Aceh/kabupaten/kota. Adapun organisasi MPU terdiri dari Pemimpin, Sekretariat, Dewan Paripurna Ulama dan komisi- komisi.Masa kepengurusan MPU ditetapkan selama 5 tahun. Masa kepengurusan MPU sebangai mana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk 1 kali masa kepengurusan berikutnya. Untuk pembiayaan penyelenggaraan MPU dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan subsidi atau bantuan dari pemerintah Atasan, serta bantuan dari lembagalain diluar Pemerintah Daerah baik dalam maupun luar negeri yang sah dan tidak mengikat. MPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen yaitu MPU tidak berada dibawah Gubernur, DPRD atau Lembaga lain, tetapi sebagai mitra sejajarnya dan kepengurusannya dipilih dalam musyawarah ulama.

B. Tujuan Penulisan Makalah
    Untuk membahas lebih detil tentang fungsi, tugas, kedudukan dan kewenangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.





 
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fungsi MPU
     Fungsi MPU ada dua yaitu sebagai penasehat yang memberi saran,
pertimbangan kepada pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) dan sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kebijakan daerah, baik bidang pemerintahan, pembangunan maupun pembinaan kemasyarakatan serta tatanan hukum dan tatanan ekonomi yang islami.
Keberadaan ulama dalam masyarakat Aceh memiliki status tersendiri, yang sejajar dengan instansi daerah lainnya, sehingga menempatkan MPU menjadi penting sebagai mitra pemerintahan daerah. Namun kesempatan dalam membuat keputusan sebagai mitra sejajar sangat terbatas.
     Hal ini disebabkan MPU berfungsi sebagai pemberi saran, pertimbangan, usul kepada pemerintah daerah, tetapi keputusannya tetap berada pada pihak pemerintahan daerah. Meskipun secara yuridis MPU kedudukannya sebagai mitra sejajar pemerintah daerah dan DPRD, tetapi dalam prakteknya belum berjalan secara maksimal, hanya sebatas hubungan konsultatif. Sebagai badan konsultatif maka produk utama MPU adalah berupa saran, usul serta pertimbangan mengenai masalah-masalah pemerintahan dan kemasyarakatan dari aspek syariat Islam secara kaffah, terutama masalah-masalah daerah yang diserahkan kepada Pemerintah
Daerah dan DPRD serta instansi lainnya, baik atas permintaan maupun atas inisiatif MPU
sendiri. MPU mempunyai kedudukan yang bebas dan tidak tergantung pada Kepala Daerah dan DPRD atau kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat.
    Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, MPU mempunyai hak dan kewajiban yaitu:

pertama, MPU berhak mengajukan usul kepada pemerintahan daerah (Eksekutif dan legislatif). Kedua, MPU berkewajiban memberi masukan, pertimbangan dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat Islam secara kaffah serta memberi jawaban atas pertanyaan kepala daerah.
      Dalam sistem Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah adalah penyelenggaraan kekuasaan Pemerintahan Daerah. Hal ini berarti seluruh tanggung-jawab penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah berada di atas pundak Kepala Daerah, sedangkan MPU adalah sebagai badan yang memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Kepala Daerah, tetapi tidak terlibat langsung dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
    Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, MPU bersifat pasif dalam

memberikan pertimbangan, usulan kepada pemerintah daerah dan DPRD. Selama ini MPU memberi fatwa tapi pelaksanaanya tidak berjalan secara efektif. Hal ini karena MPU tidak cukup mempunyai aparat yang dapat mengamati seluruh kebijaksanaan Kepala Daerah yang telah dilaksanakan sejalan dengan pertimbangan yang telah diberikan. Oleh karena itu, pertanggungjawaban MPU terhadap pertimbangan-pertimbangan yang diberikan kepada Kepala Daerah sulit termonitor. Hal penting adalah fungsi atau tugas MPU telah dilaksanakan walaupun tidak seluruhnya diterima oleh Kepala Daerah. Diterima atau tidaknya pertimbangan-pertimbangan MPU menjadi tanggungjawab moral Kepala Daerah untuk diperhatikan. Oleh karena itu MPU dituntut lebih aktif dan kreatif dalam memantau pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan di daerah.             Secara formal MPU telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, meskipun implentasinya namun dari segi materiil masih perlu ditingkatkan sehingga pertimbangan yang diberikan menjadi pedoman bagi Kepala Daerah dalam mengambil atau melaksanakan suatu kebijaksanaan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sebaliknya, pertanyaan Kepala Daerah masih terbatas pada pertimbangan-pertimbangan yang telah diberikan oleh MPU, dalam arti bahwa pertanyaan Kepala Daerah hanya sekedar untuk meminta penjelasan terhadap pertimbangan yang disampaikan secara tertulis oleh MPU. Secara normatif  pertimbangan-pertimbangan MPU yang disampaikan kepala daerah tidak terikat, namun sangat dipengaruhi atas kesadaran kepala daerah, sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang bertanggunggunjawab, sesuai dengan asas-asasumum pemerintahan yang layak, dan kualitas pertimbangan yang disampaikan oleh MPU yang menyebabkan kepala deaerah tidak ada pilihan lain untuk tidak menerimanya.

B. Tuags MPU Ditingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota
 a. tugas MPU ditigkat Propinsi
 1. Memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dalam menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at Islam.
 2. Melakukan pengawasn  terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah berdasarkan  syari’at Islam.
 3. Melakukan penelitian, penegembangan, penerjemahan, penerbitan, dan
 pendokumentasian terhadap naskah-naskah yang berkenaan dengan syari’at Islam
 4. Melakukan pengkaderan ulama.
 b.tugas MPU ditingkat Kabupaten/kota
 1. Memberi masukan, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah Kabupaten/kota dan DPRK dalam menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at islam .
 2. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah berdasarkan syari’at islam.
 3. Melakukan pengkaderan ulama.
4. Melakukan pemantauan dan kajian terhadap dugaan adanya penyimpangan kegiatan Keagamaan yang meresahkan masyarakat serta melaporkannya kepada MPU.     
[1]B. Kedudukan MPU
    Kedudukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) merupakan lembaga yang bersifat Independen dan merupakan mitra kerja Pemerintahan Aceh. Secara legal formal keberadaan MPU di Aceh merujuk pada Pasal 18B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yaitu:
1)  Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Kemudian juga dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang Mejelis Permusyawaratan Ulama.
Terkait dengan peran MPU di Aceh hingga saat ini belum berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan, beberapa penyebab diantaranya, Pemerintah Aceh dan DPRA dapat saja mengabaikan pertimbangan maupun saran MPU dalam merumuskan kebijakan daerah. Kemudian MPU tidak memiliki kekuatan atau pengaruh yang sama karena dari sisi keuangan MPU bergantung pada Pemerintah Aceh, sehingga MPU sebagai mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA tidaklah efektif.
  C. Kewenangan MPU di Tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota
 a. kewenangan MPU di tingkat Propinsi
 1. Menetapkan fatwa terhadap masalah pemerintahan,
     pembangunan,ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan.
 2. Memberikan arahan terhadap perbedaan pendapat dalam masalah
 keagamaan baik sesama umat Islam maupun antar umat beragama
 lainnya.
 3. Dalam hal Badan Legislatif menjalankan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan kebijakan Daerah, menyangkut dengan Hukum Islam, wajib meminta dan mempertimbangkan Fatwa dan pertimbangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).Badan Legislatif dapat menerima Rancangan Qanun di bidang Syari?at Islam yang diajukan MPU sebagai Rancangan Qanun hak inisiatif anggota DPRD. Dalam rangka pembentukan Komisi independen Pemilihan dan Komisi Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Badan Legislatif wajib meminta
pertimbangan MPU.
   b. kewenangan MPU ditingkat Kabupaten/Kota
   1. Melaksanakan dan mengamankan fatwa yang dikeluarkan oleh MPU.
   2. Memberikan pertimbangan  dan masukan kepada pemerintahan
   Kabupaten/Kotayang meliputi bidang pemerintahan, pembangunan,
   kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami.

D. Hubungan Tata Kerja MPU
  1. Dengan Badan Eksekutif
  2. Dengan Badan Legislatif
  3. Dan Dengan Instansi Lainnya


 
  1. Hubungan Tata Kerja MPU Dengan Badan Eksekutif
         (1) Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) merupakan mitra kerja Badan Eksekutif dalam penentuan kebijakan Daerah terutama yang berkaitan dengan Syari'at Islam.
          (2) Sebagai  mitra kerja Badan Eksekutif, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) wajib memberi masukan, pertimbangan dan saran-saran kepada Badan Eksekutif dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan Daerah baik dalam bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan dan tatanan hokum serta tatanan ekonomi yang Islami.
       (1) Badan Eksekutif dalam menjalankan kebijakan Daerah wajib memposisikan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai Badan independen dan mitra kerja terutama yang berkaitan dengan Syari’at Islam.
          (2) Badan Eksekutif wajib meminta masukan, pertimbangan dan saran-saran dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam menjalankan kebijakan Daerah.
          (3) Badan Eksekutif wajib mendengar fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam menjalankan kebijakan Daerah, di bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan, tatanan hukum dan tatanan ekonomi yang Islami.

   2. Hubungan Tata Kerja MPU Dengan Badan Legislatif
          (1) MPU sebagai badan independen dan mitra kerja badan Legislatif dalam menjalankan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan kebijakan Daerah, terutama bidang syari?at Islam.
          a. dalam negeri;
          b. luar negeri.

          (2) Sebagai badan independen dan mitra kerja badan Legislatif, MPU wajib memberikan masukan, pertimbangan dan saran-saran kepada badan legislatif dalam menjalankan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan kebijakan Daerah.
         (1) Badan Legislatif dalam menjalankan fungsi legislasi yang menyangkut dengan Syari?at Islam wajib meminta masukan, pertimbangan dan saran-saran dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
          (2) Dalam hal Badan Legislatif menjalankan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan kebijakan Daerah, menyangkut dengan Hukum Islam, wajib meminta dan mempertimbangkan Fatwa dan pertimbangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
          Badan Legislatif dapat menerima Rancangan Qanun di bidang Syari?at Islam yang diajukan MPU sebagai Rancangan Qanun hak inisiatif anggota DPRD.
          Dalam rangka pembentukan Komisi independen Pemilihan dan Komisi Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Badan  Legislatif wajib meminta pertimbangan MPU.

   3. Hubungan Tata Kerja MPU Dengan Instansi Lainnya
Bagian Pertama
Hubungan Tata Kerja MPU dengan Kepolisian Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam
MPU sebagai badan independen wajib memberikan pertimbangan dan  saran-saran kepada Kepala Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dalam melaksanakan kebijakan di bidang keamanan, tugas fungsional Kepolisian, ketertiban dan ketentraman masyarakat serta bidang Pendidikan Kepolisian.

          Kepala Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dalam melaksanakan tugas dibidang keamanan, fungsional Kepolisian, ketertiban dan ketentraman masyarakat wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh pertimbangan/ fatwa MPU dan Ketua MPU mempunyai tanggung jawab yang sejajar. Disatu pihak wajib menyampaikan saran dan pertimbangan lembaganya, dipihak yang satu lagi wajib memperhatikan/mempertimbangkan. Kedua-duanya tidak saling mengabaikan.
 [2]       Kepala Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam wajib bekerjasama dengan MPU dalam rangka pendidikan dan pembinaan Kepolisian khusus di bidang penegakan Syari’at Islam, ketertiban dan ketentraman masyarakat.
Bagian Kedua
Hubungan Tata Kerja MPU dengan Kejaksaan
Nanggroe Aceh Darussalam
MPU sebagai badan independen dan mitra kerja Kejaksaan Nanggroe Aceh Darussalam dalam melaksanakan tugas dan kebijakan di bidang Penuntutan dan pelaksanaan putusan Peradilan Syari?at Islam serta pengawasan terhadap aliran/ajaran sesat.
Bagian Ketiga
Larangan Pinjaman
          Kejaksaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam melaksanakan tugas dan kebijakan di bidang Penuntutan dan pelaksanaan Putusan Peradilan Syari?at Islam serta pengawasan terhadap aliran/paham sesat wajib memperhatikan sungguh-sungguh pertimbangan/Fatwa MPU.
Bagian Keempat
Hubungan Tata Kerja MPU dengan KODAM Iskandarmuda
          MPU sebagai badan independen dan mitra kerja Eksekutif, Legislatif dan Instansi lainnya, wajib memberikan saran/pertimbangan kepada Kodam Iskandarmuda dalam rangka penetapan kebijakan dibidang pertahanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
          Kodam Iskandarmuda dalam menyelenggarakan kebijkan pertahanan Negara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib memperhatikan sungguh-sungguh nilai-nilai agama, budaya, adat serta saran-saran/Fatwa MPU.

                                                     BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
   Dari pembahasan di atas tentang fungsi, tugas, kedudukan dan kewenangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam pelaksanaan syari’at Islam di Aceh dapat disimpulkan bahwa:
1.   MPU ialah sebuah lembaga yang resmi yang sangat berperan dalam pelaksanaan syari’at islam di aceh, dan bersifat independen yaitu tidak berada dibawah Gubernur, DPRD atau Lembaga lain, tetapi sebagai mitra sejajarnya.
2.   Walaupun demikian, tetap saja MPU tidak memiliki kekuatan atau pengaruh seperti mitra sejajarnya.
 


[1]  Majelis permusyawaratan ulama,kumpulan Uud,Perda,Qanun dan Instruksi Gubernur Tentang keistimewaan Nanggro Aceh Darussalam, Banda aceh, 2004, hlm. 65-78.

       [2] Nanggro Aceh Darussalam, Qanun Nanggro Aceh Darussalam no. 9 Tahun 2003 tentang Hubungan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Dengan  Eksekutif, Legislatif Dan Instansi Lainnya, Bab1-5, pasal1-15.